Minggu, 17 Maret 2013

Karena Mereka Elang Muda


Karena Mereka Elang Muda

(Pengantar untuk Buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI:
Serpihan Hati Para Pejuang)[1]


“Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang jatuh cinta. Bukan karena dunia di sekeliling kita berubah pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintahlah yang seketika mengubah persepsi kita tentang dunia di sekeliling kita”, demikian ungkapan Ust. Anis Matta dalam bukunya Serial Cinta.
Namun cinta di sini tidak dimaknai sebagai “perasaan syahwat” yang tak terkendali. Sebagaimana para pecinta palsu memahami cinta. Di sini, cinta benar-benar cinta. Cintanya para pecinta. Bagaimana tidak, KAMMI yang masih berusia muda—ibarat gadis cantik itu—membuat mereka tergila-gila. Yang membuat mereka “menggodanya” tapi juga “menikmatinya.” Memberi makna terhadap diri mereka sendiri, dan juga untuk KAMMI tempat mereka memulai karya.


Mengapa? Selain namanya yang memang menunjukan representasi kecintaan anak muda pecinta Islam (agama mereka) dan Indonesia (negeri mereka)—sebagaimana Al-Fatih dalam menaklukan Konstantinopel. Lebih dari itu, suasana yang terbangun dalam ruang gerakan KAMMI, di mana mereka hidup, bergerak dan melangkah memang syarat dengan keindahan, penuh heroisme, kaya kenangan dan juga pengorbanan. Bahkan juga cinta itu sendiri, cinta persaudaraan dan cinta perjuangan.

Bukti cinta mereka terhadap KAMMI dan juga kader-kadernya tak berhenti di lorong perjuangan dalam periode tertentu, tapi juga sampai di negeri keabadian yang niscaya. Hingga hari ini dan untuk selamanya. Ruang kontribusi mereka kepada KAMMI tidak hanya dibangun di atas dan atas nama cinta, bahkan lebih dari itu. Walau kata cinta lebih tepat untuk menunjukan segalanya.

Mereka menunaikan semuanya bukan dengan pelemahan atas jiwa juang mereka yang kuat. Kuat karakternya, kuat juga jiwanya. Namun, justru dengan penguatan jiwa mereka yang semakin kuat, bahkan tahan banting. Hal ini terlihat dalam peran mereka selama di KAMMI yang terrekam dalam cerita dan diksi tulisan-tulisan mereka yang punya kekhasan, lugu [berbicara sesederhana mungkin], terbuka [berbicara apa adanya] dan secara emosional terlihat tak berjarak dengan kepribadian mereka sendiri bahkan kader-kader KAMMI.

Jujur, belum ada tulisan yang membuat saya menangis sepanjang waktu [beberapa jam] seperti yang saya alami saat merapihkan [mengedit] buku ini ketika masih dalam bentuk naskah. Membaca penggalan kisah, pengalaman dan juga hikmah di dalamnya begitu menghanyutkan jiwa nestapa—yang mudah mengeluh dan merasa perjuangan ini cukup berhenti di sini—ke alam kesadaran. Terutama diri saya sendiri. Betapa KAMMI benar-benar menjadi rumah mereka—tempat mereka hidup. Benar-benar menjadi tempat memupuk rindu—semacam ketulusan berukhuwah, keikhlasan beramal, merangkai ide jadi gerakan dan seterusnya. [Ya Allah, saksikanlah…Jadikan air mata ini menjadi saksi atas kesungguhan hamba-Mu untuk mencintai KAMMI sebagaimana pendahulu hamba mencintai kader-kader KAMMI dan diri mereka!]

Lebih lanjut, hanya pembaca—terutama kader KAMMI yang lebih tahu apa yang dirasakan ketika atau setelah membaca buku ini. Saya tidak bermaksud mengajak pembaca “cengeng”, menangis menghabiskan air mata. Tidak, sama sekali tidak. Saya hanya ingin—sebagaimana isi buku ini—mengajak kita untuk hidup dan menunaikan amanah di KAMMI seikhlas mungkin. Jangan mudah meratapi keadaan dengan berhenti melangkah dan menutup diri dari ketidakberdayaan. Sebagaimana juga, untuk mereka yang sempat atau bahkan masih suka “menghakimi” kader-kader KAMMI, jangan sesukanya “menghakimi” KAMMI, kader-kadernya. Tanpa bermaksud membela kelemahan, kesalahan dan kekeliruan, kader-kader KAMMI adalah manusia biasa yang juga memiliki potensi untuk salah, keliru bahkan untuk durhaka.

Namun percayalah, di balik itu semua mereka, kader-kader KAMMI memiliki kesadaran keberlanjutan perjuangan seperti elang yang menghadang angin yang akan terus saja menerjang. Mereka adalah elang-elang muda. “…. Maka masa depan Indonesia—bahkan umat manusia—adalah elang-elang muda itu. Elang muda yang tumbuh dalam lingkungan kebaikan dan cinta. Elang muda yang berhasil memenangkan kecenderungan kebaikannya (taqwa) atas ego kejahatannya (fujuur). Yang akan terus menerus tumbuh besar untuk menghadang angin. Terus menerus hingga angin kelelahan dan pulang.” Mereka bisa sadar, semacam taubat dari kedurhakaan, setapak demi setapak.

Lebih dari itu, ke depan KAMMI punya obsesi untuk berpacu lebih maju dalam segala aspeknya, terutama dalam menerjang kerumitan yang dihadapi oleh gerakan KAMMI—termasuk urusan rumah tangga KAMMI sendiri—dan juga kemandegan negeri ini untuk bangkit. Bukan bemaksud meratapi ketertinggalan, tapi (lebih utama) sebagai jalan terang untuk membawa umat dan negeri ini ke pangkuan istana kejayaannya. Jika itu yang menjadi harapannya, maka KAMMI (memang) pemimpi sekaligus pelakunya. Kalau saja ada ide yang menjadi spiritnya, maka buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang [MAMK: SHPP] ini layak menjadi pustakanya. Selamat mengambil hikmah wahai pejuang-pejuang muda! []

[1] Ditulis di Jl. Ahmad Yani No. 873 Kota Bandung; Selasa/23 Februari 2010, Pukul 12.30-14.45 WIB. Buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang merupakan kumpulan tulisan Akhi Imron Rosyadi, Mba Evie Fitri dan Akhi Aji Kurniawan Darmawan (Izzatul Ikhwan) yang diterbitkan oleh Penerbit Muda Cendekia (Maret, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar